BEBERAPA media massa menginformasikan bahwa Dinas Pendidikan (Disdik) Surakarta merilis data anak putus sekolah (APS) dan anak tidak sekolah (ATS) di Solo yang mencapai 251 anak. Data itu menghimpun anak berusia sekolah, yakni 7-18 tahun. Jumlahnya tersebar di lima kecamatan.
Jika data itu dikonfirmasi dengan data di Publikasi Statistik Pendidikan Daring yang dapat diakses di https://statistik.data.kemdikbud.go.id/ ditemukan angka putus sekolah pada 2022/2023 di SD sebanyak 31 anak, SMP delapan anak, SMA enam anak dan SMK tiga anak. Berdasarkan data itu, maka angka putus sekolah di Solo pada 2022/2023 hanya berjumlah 48 anak.
Data di statistik itu jauh lebih rendah dan angka yang baru saja diumumkan Disdik Surakarta. Setelah dicermati, ternyata data yang baru saja disampaikan Disdik adalah gabungan anak putus sekolah dan anak tidak sekolah.
Terlepas dari valid tidaknya data tersebut, fenomena anak tidak sekolah perlu mendapat perhatian serius. Berdasarkan data BPS https://www.bps.go.id/indica-tor/28/1986/1 angka anak tidak sekolah secara nasional pada 2022 untuk jenjang SD sebanyak 0,71 persen, SMP 6,94 persen dan SMA 22,52 persen.
Sangat ironis, jika pada zaman yang sangat kompetitif ini, di mana butuh SDM berkualitas, terdapat fenomena anak tidak sekolah. Secara umum anak yang tidak sekolah tidak dapat diharapkan menjadi generasi berprestasi. Ini butuh perhatian serius. Tri Pusat Pendidikan yang meliputi keluarga, pemerintah, dan masyarakat hanus bekerja sama memahami situasi, mendeteksi faktor penyebab, menemukan kendala, dan menentukan solusi nyata.
Keluarga berperan memberi motivasi agar anak senang belajar dan bersekolah, yakni dengan memberi contoh budaya belajar di rumah. Dalam kondisi apa pun, budaya belajar bisa diciptakan asal ada kemauan demi kemajuan anak-anak. Begitu pula dukungan orang tua dengan segala daya untuk menyekolahkan anak sangat menentukan keberhasilan sangranaic
Pemerintah perlu mendata dan menggali faktor-faktor penyebab anak tidak sekolah.
Berdasarkan data ini, pemerintah dan pihak-pihak terkait dapat mengambil solusi yang efektif. Tokoh-tokoh masyarakat dan lembaga sosial juga harus lebih peduli. Masyarakat perlu menginisiasi gerakan belajaryang menye nangkan, budaya belajar di mana-mana dan kegiatan- kegiatan sejenis yang memotivasi anak untuk sekolah. (27)
Dr. Main Sufanti, M.Hum. Dosen Program Studi PBSI, FKIP Universitas Muhammadiyah Surakarta
Artikel ini terbit di Suara Merdeka pada Tanggal 19 Juni 2023