Dosbing Adalah Sohib Ala Hardika Dwi Hermawan Dosen Pendidikan Teknik Informatika FKIP UMS

Kolaborasi dosen-mahasiswa berbuah prestasi membanggakan lahir dari komitmen pendidikan yang saling percaya dan riang gembira.

PABELAN, Kartasura | Apa yang Anda bayangkan tentang profil seorang dosen? Apakah ia sosok yang susah tersenyum, tidak akrab, tak nyaman direspons berbeda, dan minim apresiasi atas prestasi mahasiswa? Atau seorang yang tampak sangat berwenang atas nasib akademik mahasiswa, hingga semua perkataannya harus dituruti bulat-bulat?

Teruntuk para mahasiswa, apa kabar para dosen pembimbing (dosbing) kalian? Apakah suasana pembelajaran dan pendidikan yang selama ini didapatkan begitu menyenangkan? Bagaimana relasi itu membubuhkan catatan sejarah monumental pada masa kuliah kalian? Atau justru biasa-biasa saja? Kalian kuliah, mengerjakan tugas, lalu lulus, tanpa kisah inspiratif?

Mari bersua Hardika Dwi Hermawan. Ia dosen Pendidikan Teknik Informatika pada Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Muhammadiyah Surakarta (FKIP UMS). Lantaran masih muda, sepintas lalu, Dika, demikian ia akrab disapa, tak berbeda jauh dengan mahasiswa bimbingannya. Bila pun ada yang mencolok, yakni kaca mata sedikit tebal yang ia kenakan. Ya, ia tampak sangat terpelajar.

Jumat siang (19/7/2024), Dika menerima Surakarta Daily dengan tangan terbuka di Perpustakaan UMS. Sekian waktu ia memang dipercaya sebagai Kepala Bagian Pengelolaan dan Layanan Digital. Jadi, sebagian waktunya ia habiskan di sana. Setelah dipersilakan, perbincangan santai nan bernas mulai mengalir, hampir tak dapat dibendung, lantaran tema demi tema yang terus berganti dan menarik.

“Saya punya minat khusus pada literasi, desa, kedigitalan, kepemudaan, dan tentu saja, peningkatan kesejahteraan,” ujar Dika membuka pembicaraan.

Kelima minat ini, sambungnya, tidak dapat berdiri sendiri-sendiri. Ia menekuni kelimanya sebagai bagian dari kehidupan. Bisa disebut kesenangan pun dapat dikatakan sebagai perjuangan. Alumnus Fakultas Teknik Program Studi Pendidikan Teknik Informatika Universitas Negeri Yogyakarta (UNY) itu bahkan melakoninya sejak awal masa kuliah.

Minatnya pada literasi terejawantah dengan baik ketika diamanahi sebagai salah satu pimpinan Perpustakaan UMS. Ia berpandangan bahwa perpustakaan dan mahasiswa merupakan satu kesatuan. Pada kenyataannya, perpustakaan berperan besar dalam memajukan pendidikan dan literasi Indonesia.

Apakah mahasiswa suka membaca? Apakah mahasiswa betah di perpustakaan? Dua pertanyaan yang tak mudah dijawab. Oleh karena itu, terang Dika, diperlukan perubahan paradigma pengelolaan perpustakaan, sesuai nilai yang dipahami dan diyakini generasi zaman sekarang. Dalam konteks UMS, sekarang mahasiswanya didominasi kalangan Gen Z.

“Teman-teman Gen Z dapat dipandang sebagai mitra untuk membangun perpustakaan. Pada sisi lain, perpustakaan harus mampu menyediakan kebutuhan mereka yang berkarakter kreatif dan suka visual,” terang Master of Science in Information Technology in Education lulusan Universitas Hong Kong kelahiran Purbalingga tersebut.

Dika kemudian menginisiasi program UMS Library Digital Scholarship dengan penguatan kualitas manusia melalui program Ekosistem Kolaborasi Talenta Inovasi. Selain itu, kinerja pustakawan pun ditingkatkan tanpa melupakan apresiasi atas kinerjanya.  Fantastis, Perpustakaan UMS lantas berhasil meraih berbagai penghargaan, di antaranya tiga penghargaan pada Forum Perpustakaan Perguruan Tinggi ‘Aisyiyah (FPPTMA) Awards Tahun 2024.

Ruang Belajar Bernama Desamind

Pada 5 Januari 2020, bersama beberapa kawan, Dika melahirkan Desamind, organisasi gerakan sosial untuk kemajuan desa. Langkah strategisnya, memunculkan local hero bagi pengembangan desa dengan world class competency dan good grassroot understanding.

“Saya memegang teguh perkataan Bung Hatta yang berbunyi, Indonesia tidak akan besar karena obor di Jakarta, tapi Indonesia akan bercahaya karena lilin-lilin di desa. Pengalaman hidup membuat saya yakin, pendidikan adalah solusi permasalahan desa,” ucap Dika mengenang pendirian Desamind.

Ketika bergerak, selain menjadikan desa sebagai titik tumpu perjuangan, Dika menurutsertakan para pemuda. Bukan berarti menomorduakan sesepuh desa atau kelompok warga berusia matang, baginya, kaum muda yang berhasil pada akhirnya akan dampak berdampak luas, termasuk turut bersumbangsih pada persoalan-persoalan generasi sebelumnya.

Bukan hanya itu, Dika kemudian mengorkestrasi semua potensi desa berbasis kaum muda dengan sentuhan epik teknologi komunikasi dan informasi, serta terproyeksi sebagai capaian kemandirian dan peningkatan kesejahteraan. Formula yang hingga sekarang masih ia pegang teguhi sebagai tulang punggung perubahan republik.

“Cara pandang warga desa yang fixed mindset saya ubah menjadi growth mindset,” tuturnya.

Kini, sekira 500 pengurus Desamind tersebar di 16 chapter, dari Aceh hingga Papua, serta menggerakkan lebih dari 26 ribu orang dan menyalurkan lebih dari 4.000 barang. Berbagai program diterbitkan, seperti Beasiswa Desamind, Desamind Leadership Camp, Desamind Farm, dan Desamind Research and Training.

Lebih dalam, Dika menandaskan, Desamind dalam kacamata pendidikan, sebenarnya ia persembahkan sebagai ruang belajar peserta didik. Karena, hakikat pendidikan adalah memanusiakan manusia. Ia merasa lebih menjadi manusia melalui kontribusinya kepada masyarakat. Ia yakin, tanggung jawab kaum terdidik yakni mendidik mereka yang belum terdidik.

“Kita mampu, tapi tak bergerak, berarti kita berdosa. Kolaborasi dosen dan mahasiswa tentu saja dapat berdampak luas pada perbaikan bangsa dan negara, bila dijalankan penuh dedikasi dan kesungguhan. Kampus bukan hanya gedung-gedung tempat belajar formal, tapi juga ruang problematik di luar sana yang menunggu kiprah kita,” ajaknya tanpa ragu.

Pada Juli 2022 lalu, ia membangun laboratorium low tech environment untuk mengembangkan kemampuan computational thinking para pelajar di Desa Tepa, Kecamatan Pulau-Pulau Babar, Kabupaten Maluku Barat Daya, Provinsi Maluku. Terletak di antara Laut Banda dan Laut Timor, Desa Tepa berada di atas Pulau Babar. Wilayah ini tercatat sebagai ‘tertinggal, terdepan, dan terluar’ (3T).

Pulau Babar tidak memiliki bandara. Warga desa mengandalkan kapal laut dari Ambon atau Kupang yang hanya dua kali bersandar setiap bulannya. Di sana, listrik PLN menyala dari pukul 18.00 hingga 06.00. Sementara saat siang hari, kebutuhan akan listrik dipenuhi dengan tenaga mesin diesel.

Computational thinking artinya cara belajar komputasional. Seseorang bisa belajar menyelesaikan persoalan dengan teknik ilmu komputer tanpa komputer. Computational thinking membantu anak-anak Desa Tepa bersiap pada teknologi, meski belum datang. Ketika teknologi telah menyapa, mereka akan cepat beradaptasi, lalu menerapkannya pada kehidupan sehari-hari.

“Disparitas teknologi dan pendidikan benar nyata adanya. Tidak dipungkiri, generasi muda desa sebenarnya menginginkan pendidikan dan penghidupan yang lebih baik. Dengan berbagai keterbatasan, mereka berupaya bertahap dan mewujudkan cita-cita. Ketimpangan pendidikan, ekonomi, dan pola pikir dapat diurai dengan kontribusi kita, salah satunya,” tutup Dika optimis.

Bagaimana? Bukankah dosbing adalah sohib mahasiswa untuk berprestasi dan bermanfaat bagi khalayak luas? Betapa kolaborasi dosen-mahasiswa dapat berbuah prestasi yang membanggakan bila lahir dari komitmen pendidikan yang saling percaya dan riang gembira. Bahkan Anda pun bisa melakukan hal serupa.