Oleh: Agus Budi Wahyudi
TAHUN 2024 sangat istimewa bagi warga negara Republik Indonesia,
sebab bakal digelar pesta demokrasi. Ya, Pemilu 2024.
Perhatian khalayak terhadap penggunaan bahasa para calon pemimpin
bangsa menjadi meningkat, bahkan dalam hitungan detik di media digital
terjadi penyebaran informasi yang terkait dengan permasalahan politik.
Patut menjadi perhatian bahwa dalam komunikasi yang berhubungan
dengan pesta demokrasi (pemilu) itu, masyarakat menggunakan ragam
bahasa yang disebut ragam bahasa politik.
Hal tersebut tentu saja dilihat dari sudut ilmu bahasa (linguistics)
menjadi bahan deskripsi bagi bidang multidisipliner yaitu
politikolinguistik, bidang yang memerlukan perhatian para pemerhati bahasa.
Bagaimana menafsirkan makna bahasa politik? Masalah penafsiran
makna kosakata, ungkapan yang digunakan dalam bahasa politik, tidak
seperti menafsirkan ragam bahasa yang lain.
Penutur bahasa Indonesia hendaknya menyelami dahulu persoalan
politik yang sedang hangat di Indonesia. Tanpa pengamatan yang
mendalam, maka penutur bahasa menafsirkan penggunaan bahasa politik
seperti bahasa umum atau ragam bahasa umum. Padahal bahasa politik memang sudah digunakan dalam lingkup komunikasi spesifik yaitu berpolitik.
Misalnya beberapa register politik yang digunakan, di antaranya TPS,
Bawaslu, KPPS dan lain-lain. Berupa singkatan yang memiliki arti
khusus, karena berhubungan dengan pesta demokrasi.
Istilah pesta demokrasi juga menjadi register yang tidak bisa ditafsirkan
sebagaimana pesta-pesta lain yang digelar di masyarakat luas.
Ragam bahasa umum yang berhubungan dengan pesta, dapat ditafsirkan
sebagaimana sebuah pertemuan besar dan kebahagiaan terdapat di dalam
kegiatan masyarakat.
Apakah pesta demokrasi memiliki ciri makna kebahagiaan yang sama
dengan istilah pesta pada umumnya? Sederet istilah yang mengandung
kebahagiaan, misal pesta pernikahan, pesta ulang tahun, pesta kembang
api dan pesta kuliner tradisional.
Masyarakat pengguna bahasa Indonesia, termasuk anak muda yang
sedang duduk di bangku sekolah dan perguruan tinggi, diharapkan
memiliki pemahaman terhadap ragam bahasa politik.
Ragam bahasa politik berhubungan dengan penggunaan bahasa yang
berhubungan dengan permasalahan politik.
Pemahaman tentang ragam bahasa politik bisa menjadi modal untuk
tidak terjadi konflik antarpartai, antarrelawan, antarcalon yang sedang
ikut pesta demokrasi. Kekerasan yang terjadi jangan sampai dikatakan
salah paham. Padahal salah paham, jika ditinjau dari segi kebahasaan,
tentu saja menjadi sangat menarik.
Ragam bahasa politik memang khusus digunakan dalam arena berpolitik
sehingga terasa aman, tentaram dan damai manakala penutur bahasa
Indonesia tidak menafsiarkan ragam bahasa politik dengan ragam bahasa yang lain.
Tafsir bahasa politik dengan nuansa politik, menjadi seimbang.
Pemahaman terhadap bahasa politik yang benar-benar dimiliki sebagai
potensi oleh penutur bahasa Indonesia, maka akan membentuk karakter
penutur bahasa Indonesia yang santun. Kekerasan verbal bisa dihindari
secara baik dengan menerapkan pemahaman tentang bahasa politik.
Akhirnya, harapan yang terbentang dalam pesta demokrasi Pemilu 2024,
berjalan baik dan dapat terpilih pemimpin bangsa yang membanggakan.**
Penulis adalah Drs Agus Budi Wahyudi MHum, pengajar di PBSI-FKIP Universitas Muhammadiyah Surakarta